6 Jun 2013

TELADAN YANG BAIK DARI ASATIDZAH AHLUS SUNNAH (DI BALIK LAYAR DAUROH MASYAIKH AHLUS SUNNAH 1434 H BERSAMA ASY-SYAIKH UTSMAN AS-SAALIMI & ASY-SYAIKH ABDULLAH AL-MAR’I HAFIZHAHUMALLAH)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 

Segala puji hanya bagi Allah ta’ala yang telah menganugerahkan ilmu dan teladan yang baik bagi para penuntut ilmu Ahlus Sunnah. Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan beberapa faidah penting tentang keteladanan yang diberikan para Ustadz kita yang telah bersusah payah mendatangkan dua ulama dari negeri Yaman ke negeri kita tercinta.

Al-Ustadz Dzulqarnain sebagai ketua panitia, dibantu oleh para Ustadz dan Ikhwan Jakarta, Depok, Solo, Makassar, Riau, Aceh, Balikpapan dan lain-lain hafizhahumullah, mengadakan dauroh ini, bukan sekedar untuk menyampaikan ilmu para ulama, tetapi juga untuk MENYATUKAN Ahlus Sunnah dan MENGEMBALIKAN URUSAN ketika terjadi perselisihan kepada para ulama. Inilah yang dapat kami pahami dari dauroh ini.

Dan itupun sudah jelas insya Allah ta’ala bagi para penuntut ilmu Ahlus Sunnah, ketika membaca surat undangan resmi dari Asy-Syaikh Utsman As-Salimi hafizhahullah, beliau berkata,

“Dan apa yang akan dihasilkan dari dauroh ini (insya Allah ta’ala) berupa persatuan, ukhuwah, kecintaan dan musyawarah dalam kebaikan dan saling mewasiatkan dalam kebenaran dan kesabaran, karena kalian Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang asing di tengah-tengah masyarakat, maka bersatunya kalian adalah kekuatan bagi kalian di hadapan ahli bid’ah dan kejelekan, sedang mereka (ahli bid’ah) pun saling tolong menolong padahal mereka di atas kebatilan, maka kalian lebih wajib untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa.”

Dan kami pun mengetahui dari dapur panitia, mereka telah berusaha mengundang secara khusus kepada seluruh Asatidzah Ahlus Sunnah yang mereka kenal dan punya alamatnya atau nomor kontaknya, bahkan menawarkan ke Pondok yang tidak termasuk panitia untuk diberikan jadwal Masyaikh. WalhamduliLllah, Masyaikh masih ada di negeri kita, berharaplah kebaikan kepada Allah ta’ala untuk Ustadz-ustadz kita, semoga mereka bisa berkumpul semuanya di depan ulama Ahlus Sunnah, yang memang, Masyaikh sendiri pun datang jauh-jauh tidak sekedar untuk menyampaikan ilmu, tapi juga mau mempersatukan Ahlus Sunnah, ini juga kami ketahui dari dapur panitia, walhamduliLlaah.

PELAJARAN YANG BISA KITA PETIK:

1) Semangat dan keinginan yang kuat para da’i Ahlus Sunnah untuk menjaga persatuan dan merajut kembali benang-benang ukhuwah yang telah terkoyak.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Janganlah kalian seperti kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi bergolong-golongan, setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” [Ar-Rum: 31]

Asy-Syaikh Abdullah Al-Mar’i hafizhahullah berkata,

“Sebesar-besarnya sunnah kaum musyrikin setelah keseyirikan dan kekufuran adalah perpecahan dan berkelompok-kelompok, sebagaimana sebesar-besarnya sunnah kaum mukminin setelah iman dan islam adalah persatuan dan bersama-sama berpegang (pada tali Allah yang satu).” 

2) Semangat dan keinginan yang kuat para da’i Ahlus Sunnah untuk memperbaiki diri, karena ini adalah kesempatan bagi mereka untuk meminta nasihat Syaikh atas kesalahan-kesalahan mereka, atau mempersilakan kepada pihak-pihak yang mengkritik mereka untuk melaporkan kepada Syaikh apa yang mereka anggap salah pada diri seorang Ustadz (khususnya panitia, tidak terkecuali penulis) yang tidak dianggapnya sebagai suatu kesalahan sehingga Syaikh dapat menasihatinya, dan cara ini jauh lebih baik, dibanding kita menjatuhkan nama baiknya di internet dan media lainnya.

Padahal kita tahu, keberadaannya dalam membimbing umat, menyelamatkan mereka dari kesyirikan dan kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan, sangat penting sekali. Sebagaimana kita juga tahu, sering kali –karena pandangan benci- kita telah melampaui batas terhadap saudara kita yang kita anggap bersalah. Dan kita juga memahami, merubah kemungkaran saudara kita tidak boleh memunculkan kemungkaran yang lebih besar, apalagi jika cara kita merubahnya tidak dengan hikmah, tidak sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum.

3) Keberanian para Ustadz Ahlus Sunnah untuk disalahkan di depan Masyaikh, karena sudah dimaklumi, pihak yang berselisih akan memaparkan kesalahan pihak lainnya untuk mendapatkan nasihat dan bimbingan ulama, sehingga ada pihak yang akan dibenarkan dan disalahkan.

4) Mengembalikan urusan kepada ahlinya, urusan al-jarhu wat ta’dil yang telah diambilalih oleh orang-orang yang tidak berhak, yang telah menyebabkan perselisihan semakin parah, sudah saatnya dikembalikan kepada ahlinya. Berapa banyak orang yang tidak pantas berbicara dalam bidangnya telah membuat kerusakan-kerusakan, dalam keadaan dia menganggap sedang mengadakan perbaikan, membela agama Allah ta’ala, membela sunnah dan al-haq, padahal hakikatnya dia sedang menolong setan untuk lebih memperkeruh suasana, menjatuhkan kehormatan seorang da’i Ahlus Sunnah, memperparah perpecahan dan menghalangi manusia dari jalan Allah ta’ala, dan dia tidak menyadarinya karena kebodohannya.

Telah kita nukilkan sebelumnya ringkasan nasihat Asy-Syaikh Utsman As-Saalimi hafizhahullah, bahwa al-jarhu wat ta’dil adalah haknya orang-orang yang berilmu, tidak setiap orang berhak berbicara padanya, demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah memiliki nasihat khusus yang sangat bagus dalam masalah ini dalam kitab beliau Al-Ibanah, semoga Allah ta’ala mudahkan waktu untuk menerjemahkan bagian tersebut.

5) Kesabaran dalam menghadapi orang yang menyelisihi dan cercaan mereka, inilah yang dicontohkan Al-Ustadz Dzulqarnain, Al-Ustadz Abdul Barr dan yang lainnya hafizhahumullah, di dunia maya dan di dunia nyata, tidak sedikit yang mencela dan menjatuhkan kehormatan mereka, namun demi menjaga agar api perpecahan tidak semakin berkobar, maka mereka tidak membalasnya –kecuali dalam beberapa keadaan yang sangat mendesak- terutama di akhir-akhir ini, mereka lebih menyibukkan diri dengan ilmu, tanpa menghiraukan celaan orang yang mencela. Tetapi yang mereka lakukan adalah mendatangkan ulama untuk membantu menyatukan kembali Ahlus Sunnah yang berselisih dan mengembalikan urusan kepada ahlinya.

Kepada penulis sendiri, Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah berpesan, “Jangan membantah mereka, kalau Antum benar maka Allah ta’ala yang Akan membela Antum, bersabarlah dan harapkan pahala dari Allah ta’ala.”

Al-Ustadz Khidir bin Muhammad Sunusi hafizhahullah berpesan, “Jadilah orang terbaik dalam fitnah perpecahan, jangan mebalas cercaan mereka.”

6) Keberkahan itu bersama orang-orang besar (orang-orang yang berilmu) kalian, sudah saatnya kita berhenti berbicara yang dapat lebih memperburuk perpecahan, serahkan urusan kepada para ulama, sebagai pengamalan firman Allah ta’ala,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Andaikan mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan Ulil Amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa’: 83]

Al-‘Allamah Al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahberkata,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه، ولهذا قال: { لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } أي: يستخرجونه بفكرهم وآرائهم السديدة وعلومهم الرشيدة.

“Ini adalah pengajaran adab dari Allah ta’ala bagi hamba-hamba-Nya atas perbuatan mereka (tergesa-gesa menyebarkan berita-berita dan mengambil sikap, pen) yang tidak layak. Padahal yang seharusnya mereka lakukan, apabila datang kepada mereka berita tentang urusan besar dan berhubungan dengan kemaslahatan umum, yaitu yang berkaitan dengan keamanan dan perkara yang menyenangkan kaum mukminin atau ketakutan yang di dalamnya terkandung musibah atas mereka, maka hendaklah mereka melakukantatsabbut (memastikan beritanya) dan tidak tergesa-gesa menyiarkan berita tersebut.

Akan tetapi hendaklah mereka kembalikan urusan itu kepada Rasul dan Ulil amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di antara mereka, yaitu orang-orang yang memiliki pandangan, memiliki ilmu, memiliki nasihat (yakni yang pantas menasihati dalam masalah umum, pen), memiliki akal dan memiliki ketenangan (tidak tergesa-gesa dalam memutuskan). Merekalah yang mengetahui kemaslahatan dan kemudaratan.

Maka jika mereka memandang dalam penyiaran berita tersebut terdapat kemaslahatan, kemajuan dan kegembiraan terhadap kaum muslimin dan penjagaan dari musuh-musuh mereka, baru kemudian boleh disebarkan. Namun jika mereka memandang dalam penyiarannya tidak mengandung maslahat sama sekali, atau terdapat maslahat akan tetapi kemudaratannya lebih besar, maka mereka tidak menyiarkan berita tersebut. Oleh karena itu Allah ta’ala mengatakan, “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri),” yakni, orang-orang yang mau mencari kebenaran dapat mengambilnya dari pemikiran dan pandangan mereka yang benar serta ilmu-ilmu mereka yang terbimbing.”

Beliau rahimahullah juga berkata,

وفي هذا دليل لقاعدة أدبية وهي أنه إذا حصل بحث في أمر من الأمور ينبغي أن يولَّى مَنْ هو أهل لذلك ويجعل إلى أهله، ولا يتقدم بين أيديهم، فإنه أقرب إلى الصواب وأحرى للسلامة من الخطأ. وفيه النهي عن العجلة والتسرع لنشر الأمور من حين سماعها، والأمر بالتأمل قبل الكلام والنظر فيه، هل هو مصلحة، فيُقْدِم عليه الإنسان؟ أم لافيحجم عنه؟

Dan dalam ayat ini terdapat dalil bagi kaidah adab, yaitu apabila terjadi pembahasan suatu permasalahan maka hendaklah diserahkan kepada ahlinya. Hendaklah diserahkan kepada orang yang berhak membahasnya, dan janganlah (orang yang jahil atau tidak mengerti urusan, pen) mendahului mereka, karena sikap seperti ini lebih dekat kepada kebenaran dan lebih dapat menyelamatkan dari kesalahan.

Dalam ayat ini juga terdapat larangan tergesa-gesa dan terburu-buru untuk menyebarkan suatu berita setelah mendengarkan berita tersebut. Dan (dalam ayat ini) terdapat perintah untuk meneliti dan mempelajari dengan baik sebelum berbicara; apakah pembicaraannya itu adalah kemaslahatan sehingga boleh dia lakukan? Ataukah mengandung kemudaratan sehingga patut dijauhi?”

[Taysirul Kariimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan, hal, 184, Maktabah Al-Ma’arif Riyadh]

Maka, berharaplah kebaikan dari Allah ta’ala untuk para Ustadz kita, doa’akanlah semoga Allah ta’ala menyatukan kita dan mereka dalam ukhuwah yang kuat di atas manhaj yang haq. Allahumma aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar